Selasa, 15 Mei 2012

HOOLIGAN ENGLAND

Rivalitas Antar Klub Inggris: Kala Sepakbola Menandingi Agama

Bagi sebagian orang, sepakbola tidak lah lebih dari sekedar 22 orang yang saling mengejar bola di lapangan. Bagi beberapa fans klub Liga Inggris, sepak bola menjadi bagian hidup yang siap mereka bela dengan nyawa.
Contoh saja permusuhan antara Liverpool FC dan Manchester United. Alkisah, pada permulaan abad industri di Inggris, kota Manchester dikenal sebagai pusat industri manufaktur sedang Liverpool memiliki pelabuhan yang penting untuk menunjang industri manufaktur tersebut. Pada tahun 1894, kota Manchester membuka sebuah kanal kapal sendiri, sehingga kapal-kapal yang membawa barang tidak perlu lagi singgah di Liverpool.
Hal ini menyebabkan banyak orang di Liverpool, yang menggantungkan diri pada pelabuhan, kehilangan pekerjaan dan menciptakan angka pengangguran yang tinggi.  Liverpudlians mulai membenci para Mancunians yang merusak kehidupan mereka, dan lahirlah rivalitas antar kota Manchester-Liverpool, yang juga melatarbelakangi salah satu persaingan antar dua klub sepakbola terbaik dunia.
Saat era industri mengalami penurunan pada tahun 1970-an dan 1980-an, penduduk kota Liverpool berhasil melampiaskan inferioritas mereka selama bertahun-tahun karena Liverpool FC merajai Liga Inggris, bahkan menjuarai Piala Champions 4 kali, sedang rivalnya, Manchester United, mengalami masa-masa terkelam dalam sejarah, dimana mereka mencicipi degradasi. Inilah mengapa para suporter Liverpool sangat bangga dengan rekor 18-5 (18 kali menjuarai liga dan 5 kali merebut trofi Champions), yang hampir kesemuanya direngkuh pada era lampau. Pada tahun 2008, Uni Eropa menganugerahkan gelar European Capital of Culture kepada kota Liverpool atas pencapaian mereka di bidang budaya. Suporter Manchester United membalas dengan memajang besar-besar banner bertuliskan ”Manchester: European Capital of Trophies” di Old Trafford.
Selain Liverpool dan rival sekota Manchester City, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Man Utd mempunyai rivalitas turun temurun dengan Leeds United yang sejarahnya bisa dirunut hingga abad ke-15.
Man Utd dan Leeds United merupakan representasi modern dari House of Lancashire dan House of Yorkshire, dua pihak yang terlibat perang sipil memperebutkan takhta Kerajaan Inggris. Perang tersebut dinamakan Wars of The Roses karena masing-masing pihak disimbolisasikan dengan mawar merah dan mawar putih. Ini juga alasan kenapa Man Utd berseragam merah, sedang Leeds memiliki kostum berwarna putih.
Walau Leeds sekarang sudah tenggelam ke League One, dua kasta di bawah Premiership, perseteruan kedua tim masih terus berlangsung. Tidak terhingga pedihnya rasa sakit suporter Leeds saat salah satu pahlawan mereka, Alan Smith, hijrah ke Old Trafford setelah mereka terdegradasi. Belum lagi, sebelumnya Rio Ferdinand juga hengkang ke Man Utd dalam transfer yang disebut manajer Leeds kala itu, David O’Leary, “Memberi Sir Alex Ferguson gelar juara liga”.
Sejarah rivalitas di luar lapangan tidak hanya dimiliki klub-klub besar. Seperti kita ketahui, 2 minggu silam pecah kerusuhan antara suporter West Ham dengan suporter Millwall dalam pertandingan yang dilabeli East London Derby (walau Millwall sebenarnya berada di bagian tenggara). Salah seorang bekas pentolan hooligan West Ham yang sekarang menjadi penulis buku, Cass Pennant, mengatakan, “Semua orang tahu ada sesuatu yang akan terjadi bila West Ham dan Millwall bertemu”.
Bila ditelusur ke belakang, West Ham dahulu bernama Thames Ironworks FC, sebuah klub yang dibentuk dari serikat pekerja galangan kapal (menjelaskan mengapa lambang West Ham adalah palu dan mereka disebut The Hammers), sedang Millwall bernama Millwall Ironworks. Mereka berada dalam kondisi yang baik satu sama lain sampai pada tahun 1920-an ketika para pekerja Millwall Ironworks menolak ikut dalam aksi mogok kerja buruh besar-besaran yang dipelopori oleh Thames Ironworks. Sejak itu, rivalitas terbentuk antara mereka dan mendarah daging kepada para suporter keduanya.
Satu lagi rivalitas besar di Inggris adalah antara Newcastle United dan Sunderland. Newcastle sekarang terbenam di divisi Championship, tapi yang menjadi masalah bagi mereka adalah bahwa tetangganya Sunderland, berada satu tingkat di atas mereka. Kedua kota terlibat dalam sebuah persaingan yang diberi label Tyne-Wear Derby yang (lagi-lagi) berakar dari sejarah masa lampau. Dalam masa perang sipil Inggris, Newcastle menjadi pendukung setia royalis dari Raja Inggris kala itu, Charles I, sedang Sunderland menjadi basis massa parlementarian dari Oliver Cromwell yang berseberangan dengannya.
Fanatisme dan rasa rivalitas antar fans tim Inggris amat lah kental, contoh saja Portsmouth yang kini terpuruk di dasar klasemen Liga Inggris dan menjadi salah satu kandidat degradasi musim ini, tapi salah seorang fans Pompey menulis di Internet, ”Setidaknya kami masih bisa tersenyum karena Southampton juga terpuruk di League One”. Kedua klub berada di kota pelabuhan, dengan Southampton sebagai pelabuhan sipil, sedang Portsmouth adalah markas besar armada angkatan laut Kerajaan Inggris. Berbagai privilege yang dimiliki Portsmouth sebagai markas angkatan laut membuat iri tetangganya dari Southampton dan memberi percikan api bagi persaingan keduanya.
Masih banyak kasus-kasus rivalitas antar klub Inggris yang berakar jauh dari luar lapangan hijau. Menilik latar belakang tersebut, bukanlah suatu hal yang mengejutkan bila sepakbola di Inggris bagaikan agama bagi para penggemarnya. Sepakbola dipandang sebagai sebuah medan peperangan modern yang berimbang di mana pemenang bukan lagi ditentukan oleh pertumpahan darah, tapi oleh siapa yang lebih banyak mencetak gol ke gawang lawan.
Tidak heran, seorang manajer legendaris Liverpool, Bill Shankly, pernah mengatakan, ” Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more important than that”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar